Kamis, 24 Desember 2015

MAULID UMAT BERAKHLAK



Nilai penting kelahiran dan kehadiran nabi Muhammad dapat dilihat dari perubahan besar yang terjadi sebalum dan sesudah masa hidupnya. Dahulu masyarakat Arab hidup dalam jaman jahiliyah,  jaman kebodohan yang bukan sekedar buta huruf tapi juga sesat aqidah dan pengabai akhlak. Mereka menjadi penyembah berhala, pembunuh berdarah dingin,  bahkan terhadap anak wanitanya sendiri.

Terdapat ketimpangan yang besar antara kaum kaya dan miskin. Sebagian diantara mereka menjadi eksportir dan importir dengan armada puluhan atau ratusan unta yang memenuhi lembah. Tapi sebagian lain hidup di bawah standar
kelayakan, bahkan menjadi budak yang terabaikan kebutuhan dasarnya. Kaum kaya telah menjadi penindas di negerinya sendiri.

Setelah nabi Muhammad saw lahir dan beranjak dewasa, beliau melihat realita menyedihkan ini. Atas perintah kenabian, setelah 23 tahun perjuangan merombak berbagai sisi, tersibaklah masa gelap itu, berganti terangnya aqidah yang lurus dan akhlak yang menawan, penuh kesantunan, serta berkembang sifat saling tolong menolong.

Merenungkan dan membayangkan kelahiran Nabi, membawa kita pada kerinduan maulid (kelahiran) akhlak di tengah umat sekarang ini. Globalisasi telah membawa bencana kemerosotan moral, hilangnya rasa malu, dan mencuatnya sifat individualisme, terutama di kota-kota besar. Demi jabatan dan sesuap nasi, masyarakat sering mengabaikan nilai halal dan haram, serta tidak peduli nasib orang lain yang tersisih.

Membangun akhlak

Imam Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai kondisi yang tertanam dalam jiwa sehingga mudah menimbulkan perbuatan, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Imam Qurthubi mengatakan akhlak adalah adab atau tata krama yang dipegang teguh oleh seseorang, sehingga adab atau tata krama itu seakan menjadi bagian dari dirinya.

Mengacu pada makna tersebut, maka membangun akhlak butuh kesungguhan. Apalagi pada masa kini masyarakat tumbuh dengan beragam level pendidikan, profesi, latar belakang keluarga dan lingkungan.

Di jaman dahulu, Rasulullah saw merombak akhlak jahiliyah dengan menggunakan berbagai cara atau strategi. Beliau hadir sebagai teladan moral, dengan sifat suka menolong, ramah, jujur, dan peduli pada umat. Bahkan Allah juga memuji karakter beliau: “Dan sungguh engkau (Muhammad) di atas budi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qolam: 4)

Membangun akhlak di masa sekarang ini juga butuh keteladanan dari orang-orang berpengaruh. Rakyat butuh model real yang menjadi inspirasi akhlak kesehariannya ketika berinteraksi dengan keluarga dan tetangga. Dalam hal ini para dai, ketua RT, kepala desa, pejabat negara, adalah orang-orang yang bertanggung jawab memberi contoh. Mereka haruslah orang-orang yang amanah, garda depan penjaga keadilan dan pemegang nilai-nilai kebaikan universal hablu minannas ( hubungan sesama manusia)

Sungguh disayangkan jika pejabat dan tokoh masyarakat tidak amanah terhadap uang dan jabatannya, dan mengabaikan nilai etika bertetangga. Masyarakat akan kehilangan sosok nyata inspirator.

Untuk menumbuhkan akhlak Rasulullah saw juga gencar menjelaskan urgensinya. Islam bukan agama pengajar aqidah dan ibadah saja. Ada dimensi relasi horizontal sesama manusia yang juga harus diwujudkan.

Abu Darda radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “tidak ada sesuatu yang diletakkan pada timbangan hari kiamat yang lebih berat dari akhlak yang mulia, dan sesungguhnya orang yang berakhlak mulia bisa mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat.” (HR. Tirmidzi, shahih)

Di masa kini terkadang muncul pengotak-kotakan antara aqidah, ibadah, dan moral ini sehingga tidak menyatu pada diri seorang muslim. Sebagian  orang larut dalam keasyikan hubungan transendental dengan Allah, rajin shalat, menikmati zikir dan bacaan al-Qurannya, namun abai terhadap nasib tetangga, hilang adab bermasyarakatnya. Harus difahamkan bahwa kepedulian sosial adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Islam.

Dalam mengokohkan akhlak, Rasulullah saw juga menerapkan pendidikan  sejak belia. Anas bin Malik, Hasan dan Husain cucu Rasululllah saw, adalah orang-orang yang mencicipi arahan etika ini. Saat kecil, manusia seperti selembar kertas putih bersih. Manusia di sekitarnyalah yang akan memberi warna kepadanya. Maka peran pendidikan sejak dini tidak bisa diabaikan.

Orang tua tidak dibenarkan hanya sibuk bekerja, sehingga lalai memonitor kelakuan anak. Masyarakat haram untuk diam melihat anak berkelahi atau mengumpat dengan kata-kata kotor. Hendaknya diajarkan kebiasaan bearempati mengulurkan tangan bersedekah, dan menolong temannya yang sakit.

Dengan kesungguhan upaya diharapkan tercipta pesona akhlak di masyarakat. Sebab telah jelas sabda Nabi mulia mengajarkan: “Aku tidak diutus (oleh Allah) kecuali untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Baihaqi)

Allahu a’lam bisshawab

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar